Rabu, 23 Mei 2012

Penetapan Kadar Abu


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Ilmu yang mempelajari mengenai pengetahuan tentang obat-obatan disebut juga sebagai Farmakognosi. Dimana dalam farmakognosi ini, yang menjadi kajian utamanya adalah bahan alam. Bahan alam yang dapat diolah menjadi suatu senyawa yang dapat memberikan manfaat melalui zat-zat atau kandungan kimia yang ada di dalamnya.
Pada makalah ini, kami akan membahas mengenai uji kadar sari dan uji kadar abu suatu sediaan guna untuk mengetahui cara penetapan kadar sari dan kadar abu serta mengetahui kandungan yang terdapat dalam suatu sampel.
Uji ini sangat barmanfaat bagi kita, karena kita dapat menentukan kadar dari suatu sampel sehingga memudahkan kita dalam pembuatan suatu sediaan obat yang sesusai yang kita inginkan.
Uji kadar sari dari suatu ekstrak bahan obat alam dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran awal sejumlah kandungan. Berbagai senyawa penyarian dari bahan obat alam seperti penyarian dengan pelarut air atau alkohol digunakan untuk menentukan presentase tersarinya dengan pelarut tersebut.
Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol lebih sering digunakan untuk mengetahui apakah bahan baku obat tradisional tersebut dapat larut dalam pelarut organik. Penetapan kadar sari larut dalam air digunakan untuk menentukan kemampuan dari bahan obat tersebut apakah tersari dalam pelarut air.

I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami apa yang tujuan dilakukannya penetapan kadar abu dan kadar sari serta cara penetapannya.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1  Teori Umum
Kandungan bahan organik dari hasil metabolisme sekunder yang terdapat pada tanaman sebagai bahan baku obat tradisional merupakan identitas kimiawi dan ciri spesifik tanaman yang berhubungan dengan efek farmakologis yang ditimbulkannnya, karena metabolit sekunder yang dihasilkan tanaman memiliki karakteristik untuk tiap genara, spesies dan strain/varietas tertentu (Anonim, 2007).
Uji kadar sari dari suatu ekstrak bahan obat alam dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran awal sejumlah kandungan, dengan cara melarutkan ekstrak sediaan dalam pelarut organik tertentu (etanol atau air) (Anonim, 2007).
Berbagai senyawa penyarian dari bahan obat alam seperti penyarian dengan pelarut air atau alkohol digunakan untuk menentukan presentase tersarinya dengan pelarut tersebut. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol lebih sering digunakan untuk mengetahui apakah bahan baku obat tradisional tersebut dapat larut dalam pelarut organik. Penetapan kadar sari larut dalam air digunakan untuk menentukan kemampuan dari bahan obat tersebut apakah tersari dalam pelarut air (Anonim, 2007).
Kemampuan bahan obat terserap dalam air dapat menjadi acauan penggunaan jamu dalam bentuk rebusan (infusa) oleh masyarakat. Sehingga efek yang diinginkan tercapai, sedangkan kemampuan bahan obat tersari dalam etanol dapat dijadikan standar dalam pembuatan sediaan ekstrak. Besarnya kadar yang tersari dapat dijadikan standar atau control untuk mutu dari suatu bahan atau obat herbal tersandarkan (Anonim, 2007).
Dalam menetapkan besarnya kadar sari yang terkandung dalam bahan obat tradisional (ekstrak) dilakukan beberapa kali penimbangan hingga diperoleh bobot tetap/konstan. Bobot konstan yang dimaksud adalah dua kali penimbangan berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap gram sisa yang ditimbang (Anonim, 2007).
Cara perhitungan kadar sari  (Anonim, 2007) :
Berat ekstrak      = [berat penimbangan total – berat cawan kosong]

Kadar sari larut etanol (N)   =  5 x berat ekstrak   x 100%
                                                         Berat sample

Kadar sari rata-rata               =      N1 + N2 + N3      x 100%
                                                                   3

Penetapan fisis dari sediaan jamu (simplisia) dilakukan berupa penetapan kadar abu sisa pemijaran (kadar abu total) dan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Anonim, 2007).
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu simplisia karena tiap simplisia mempunyai kandungan atau kadar abu yang berbeda-beda, dimana bahan anorganik yang terdapat dalam simplisia tersebut ada yang terbentuk secara alami dalam tumbuhan. (Anonim, 2007)
Atas dasar tersebut dapat ditentukan besarnya cemaran bahan-bahan anorganik yang terdapat dalam simplisia yang terjadi pada saat pengolahan ataupun dalam pengemasan simplisia (Anonim, 2007)
Prinsipnya adalah bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa oraganik dan turunannya terdekstruksi dan menguap hingga tersisa unsur mineral organik, penetapan kadar abu bertujuan memberi gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dalam simplisia, mulai dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Kadar abu diperiksa untuk menetapkan tingkat pengotoran oleh logam-logam dan silikat (Anonim, 2007).
Kadar abu total (sisa pemijaran) dan abu yang tidak dapat larut dalam asam dapat ditetapkan melalui metode yang resmi. Dalam hal ini terjadi pemijaran dan penimbangan, total abu kemudian dididihkan dengan asam klorida, disaring, dipijarkan dan ditimbang abu yang tidak larut dalam asam dimaksudkan untuk melarutkan kalsium karbonat, alkali klorida sedangkan yang tidak larut dalam asam  biasanya mengandung silikat yang berasal dari tanah atau pasir. Jumlah kotoran, tanah, tanah liat dan lain-lain yang terdapat dalam sample uji disebut sebagai zat anorganik asing yang terbentuk dalam bahan obat atau melekat pada bahan obat pada saat pencampuran (Anonim, 2007).
Perlu diingat, saat penimbangan kadar abu diakukan sampai diperoleh bobot tetap/konstan dari alat dan bahan yang digunakan. Bobot konstan yang dimaksud bahwa dua kali penimbangan berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap gram sisa yang ditimbang (Anonim, 2007).
Cara perhitungan kadar abu (Anonim, 2007) :
Berat abu total               = [berat total penimbangan – berat cawan kosong]
Kadar abu total              =     Berat abu total    x  100%
Berat sampel

Kadar sari rata-rata        =   N1 + N2 + N3      x 100%
    3

Dalam menetapkan besarnya kadar sari yang terkandung dalam bahan obat tradisional (ekstrak) dilakukan beberapa kali penimbangan hingga diperoleh bobot tetap/konstan. Bobot konstan yang dimaksud adalah dua kali penimbangan berturut-turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap gram sisa yang ditimbang.
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu simplisia karena tiap simplisia mempunyai kandungan atau kadar abu yang berbeda-beda, dimana bahan anorganik yang terdapat dalam simplisia tersebut ada yang terbentuk secara alami dalam tumbuhan. Atas dasar tersebut dapat ditentukan besarnya cemaran bahan-bahan anorganik yang terdapat dalam simplisia yang terjadi pada saat pengolahan ataupun dalam pengemasan simplisia.
Prinsipnya adalah bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa organik dan turunannya terdekstruksi dan menguap hingga tersisa unsur mineral organik, penetapan kadar abu bertujuan memberi gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dalam simplisia, mulai dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Kadar abu diperiksa untuk menetapkan tingkat pengotoran oleh logam-logam dan silikat.
Kadar abu total (sisa pemijaran) dan abu yang tidak dapat larut dalam asam dapat ditetapkan melalui metode yang resmi. Dalam hal ini terjadi pemijaran dan penimbangan, total abu kemudian dididihkan dengan asam klorida, disaring, dipijarkan dan ditimbang abu yang tidak larut dalam asam dimaksudkan untuk melarutkan kalsium karbonat, alkali klorida sedangkan yang tidak larut dalam asam  biasanya mengandung silikat yang berasal dari tanah atau pasir. Jumlah kotoran, tanah, tanah liat dan lain-lain yang terdapat dalam sample uji disebut sebagai zat anorganik asing yang terbentuk dalam bahan obat atau melekat pada bahan obat pada saat pencampuran.

II.2  Cara Kerja
Adapun cara kerja dari penetapan kadar sari dan kadar abu adalah sebagai berikut :
a.  Uji kadar sari
1.      Ditimbang serbuk sampel sebanyak 5 gram.
2.      Dimaserasi dengan 100 ml etanol (95 %) selama 24 jam menggunakan labu bersumbat kaca sambil sekali-kali dikocok selama 6 jam, kemudian diamkan selama 18 jam.
3.      Disaring cepat untuk mencegah etanol menguap.
4.      Diuapkan 20 ml filtrat dalam cawan dangkal dasar rata yang telah ditera di atas tangas air hingga ekstrak kering.
5.      Dipanaskan ekstrak pada suhu 105oC hingga bobot tetap/konstan.
6.      Dihitung kadar dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
b. Uji kadar abu
1.      Ditimbang serbuk simplisa sebanyak 5 gram.
2.      Dmasukkan dalam cawan porselin yang telah dipijarkan dan telah dikonstankan sebelumnya.
3.      Dipijarkan dalam tanur secara perlahan-lahan sehingga arang habis.
4.      Didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga bobot tetap/konstan.
5.      Dihitungk kadar abu terhadap bahan yang dikeringkan di udara.



BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Uji kadar sari bertujuan memberikan gambaran awal jumlah senyawa yang terkandungan dalam suatu sampel.
Uji kadar abu bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya cemaran bahan-bahan anorganik yang terdapat dalam suatu sampel.




DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Penuntun Praktikum Faemakognosi I. Universitas Muslim Indonesia ; Makassar.

Ansel, Hiward C., 1989, “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi” Edisi keempat, UI Press : Jakarta.

Kromatografi Lapis Tipis dan Kromatografi Kertas


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
      Ada banyak teknik pemisahan tetapi kromatografi merupakan teknik paling banyak digunakan. Kromatografi sangat diperlukan dalam kefarmasian dalam memisahkan suatu campuran senyawa. Kromatografi merupakan metode pemisahan yang sederhana. Dalam kromatografi, komponen-komponen terdistribusi dalam dua fase. Salah satu fase adalah fase diam.
      Kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusunan cuplikan antara dua fasa.
Satu fasa tetap tinggal pada system dan dinamakan fasa diam. Fasa lainnya dinamakan fasa gerak menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusun cuplikan. Prosedur kromatografi masih dapat digunakan, jika metode klasik tidak dapat dilakukan karena jumlah cuplikan rendah, kompleksitas campuranyang hendak dipisahkan atau sifat berkerabat zat yang dipisah
      Kromatografi dibagi menjadi beberapa macam, tetapi pada praktikum Farmakognosi II yang digunakan hanya 2 jenis kromatografi yaitu kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Oleh karena itu, pada makalah ini hanya akan dijelaskan kedua kromatografi tersebut.


1.2        Rumusan Masalah/Topik Bahasan
1.      Apakah pengertian dari kromatografi ?
2.      Apakah macam-macam dari kromatografi?
1.3        Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dan cara kerja dari kromatografi.
2.      Untuk mengetahui macam-macam dan cara kerja masing-masing kromatografi.

 
BAB II
PEMBAHASAN
2.1        Pengertian Kromatografi
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk pemisahan tertentu. Cara ini dikenalkan oleh TSWETT, ia telah menggunakan untuk pemisahan senyawa – senyawa yang berwarna, dan nama kromatografi diambillkan dari senyawa yang berwarna. Meskipun demikian pembatasan untuk  senyawa- senyawa yang berwarna tak lama dan hampir kebanyakan pemisahan – pemisahan secara kromatografi sekarang diperuntukkan pada senyawa – senyawa yang tak berwarna (Sastrohamidjojo, 1985).
Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan  yang mana analit – analit dalam sampel terdistribusi antara dua fase yaitu fase diam dan gerak. Fase diam dapat berupa bahan padat dalam bentuk molekul kecil atau dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa  gas atau cairan. Jika gas digunakan sebagai fase gerak maka prosesnya dikenal sebagai kromatografi gas.  Dalam kromatografi cair dan juga kromatografi lapis tipis, fase gerak yang digunakan selalu cair (Rohman, 2009).
   Kromatografi melibatkan pemisahan terhadap campuran berdasarkan perbedaan - perbedaan tertentu yang dimiliki oleh senyawanya. Perbedaan yang dapat dimanfaatkan meliputi kelarutan dalam berbagai pelarut serta sifat polar. Kromatografi biasanya terdiri dari fase diam (fase stationer) dan fase gerak (fase mobil).Fase gerak membawa komponen suatu campuran melalui fase diam, dan fase diam akan berikatan dengan komponen tersebut dengan afinitas yang berbeda-beda. Jenis kromatografi yang berlainan bergantung pada perbedaan jenis fase, namun semua jenis kromatografi tersebut berdasar pada asas yang sama (Bresnick, 2004).
Pemisahan yang terjadi dalam kromatografi dilaksanakan dengan memanipulasi sifat-sifat dari senyawa, yaitu :
1) kecenderungan suatu molekul untuk larut dalam cairan (kelarutan)
2) kecenderungan suatu molekul untuk bertaut dengan suatu serbuk padat (absorbsi)
3) kecenderungan suatu molekul untuk menguap
Letak bercak yang diperoleh dari zat yang dikromatografi dapat ditetapkan dengan cara berikut (Dirjen POM, 1979) :
1.      Pengamatan langsung, jika zat tampak dengan cahaya biasa atau dengan sinar ultraviolet.
2.      Pengamatan dengan cahaya biasa atau dengan sinar ultraviolet setelah kertas disemprotkan dengan pereaksi yang dapat membuat bercak tersebut tampak.
3.      Menggunakan pencacah Geiger-Muller atau tekhnik otoradiografi, jika zat radioaktif.
4.      Menempatkan pita atau potongan kertas pada medium pembiakan yang tealh ditanami, untuk melihat hasil stimulasi atau hambatan dari pertumbuhan bakteri.
2.2        Macam-macam Kromatografi
Pembagian ini selanjutnya dapat dibagi lagi seperti telihat pada skema berikut:
KROMATOGRAFI :
1. Kromatografi Gas
a. GLC
b. GSC
2. Kromatografi Cair
a. HPLC
b. LLC-PC
c. LSC-TLC, Kolom
d. Ion Excange
e. Ekslusi : - GP
                   - GF
Keterangan
GLC       = Gas Liquid Chromatography
GSC       = Gas Solid Chromatography
LLC       = Liquid Liquid Chromatography
LSC        = Liquid Solid Chromatography
PC          = Paper Chromatography
TLC        = Thin Layer Chromatography
GP          = Gel Permeation
GF          = Gel Filtration
HPLC     = High Performance Liguid Chromatography
1.      Liquid Liquid Chromatography (LLC)
LLC adalah kromatografi pembagian dimana partisi terjadi antara fase gerak dan fase diam yang kedua-duanya zat cair. Dalam hal ini fase diam tidak boleh larut dalam fase gerak.
2.      Liquid Solid Chromatography (LSC)
LSC adalah kromatografi penyerapan. Sebagai adsorben digunakan silika gel, alumina, penyaring molekul atau gelas berpori dipak dalam sebuah kolom dimana komponen-komponen campuran dipisahkan dengan adanya fase gerak. Kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (TLC) merupakan teknik pemisahan yang masuk golongan ini.



3.      Ion-exchange chromatography
Teknik ini menggunakan zeolitas, resin organik atau anorganik sebagai penukar ion. Senyawaan yang mempunyai ion-ion dengan afinitas yang berbeda terhadap resin yang digunakan dapat dipisahkan.
4.      Exclusion chromatography
Dalam teknik ini, gel nonionik berpori banyak dengan ukuran yang sama digunakan untuk memisahkan campuran berdasarkan perbedaan ukuran molekulnya (BM).
5.   HPLC ( High Performance Liquid Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi)
            Dalam beberapa tahun ini teknologi HPLC dan pemakaiannya sangat berkembang dan walaupun nisbi mahal, HPLC telah menjadi metode analisis rutin dan bahkan preparative pada banyak laboratorium.
            Metode dalam kromatografi cair dibagi atas dua macam :dua macam
a)      Kromatografi Cair Retensif
Pemisahan dicapai melalui interaksi antara zat terlarut dengan fase diam. Tipe ini mencakup fase normal, fase terbalik, dan kromatografi ion.
b)      Kromatografi Cair Non-retensif
Pemisahan yang dicapai tergantung kepada perbedaan besar molekul zat terlarut dimana terjadi interaksi antara zat terlarut dengan pori yang terdapat di permukaan fase diam. Tipe.ini dikenal sebagai kromatografi ekslusi.

6.   Teknik kromatografi yang umum digunakan dibidang farmasi yaitu kromatografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi penukar ion, kromatografi penyaringan gel, dan elektroforesis.
a.      Kromatografi Lapis Tipis.
               Yaitu kromatografi yang menggunakan lempeng gelas atau alumunium yang dilapisi dengan lapisan tipis alumina, silika gel, atau bahan serbuk lainnya. Kromatografi lapis tipis pada umumnya dijadikan metode pilihan pertama pada pemisahan dengan kromatografi.
               Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara cepat, dengan menggunakan zat penjerap berupa serbuk halus yang dipaliskan serta rata pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan, pembagian atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap penukar ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar. Harga Rf yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis tidak tetap, jika dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas. Oleh karena itu pada lempeng yang sama di samping kromatogram zat yang di uji perlu dibuat kromatogram zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-beda (Dirjen POM, 1979, hal. 782).
               Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia.  Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan  berbutir – butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan , ditotolkan berupa berupa bercak atau pita (awal).  Setelah plat atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok ( gambar 2).
               Alasan untuk menutup gelas kimia adalah untuk meyakinkan bahwa kondisi dalam gelas kimia terjenuhkan oleh uap dari pelarut. Untuk mendapatkan kondisi ini, dalam gelas kimia biasanya ditempatkan kertas saring yang terbasahi oleh pelarut. Kondisi jenuh dalam gelas kimia dengan uap mencegah penguapan pelarut. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (gambar 2). Karena pelarut bergerak lambat pada lempengan, komponen-komponen yang berbeda dari campuran pewarna akan bergerak pada kecepatan yang berbeda dan akan tampak sebagai perbedaan bercak warna.

Gambar 1 .         Bejana berisi KLT sebelum pengembangan




Gambar   2     : bejana berisi plat KLT sebelum pengembanga.
            Untuk campuran yang tidak diketahui, lapisan pemisah (sifat penjerap) dan   sistem larutan pengembang harus dipilih dengan tepat karena keduanya bekerjasama untuk mencapai pemisahan.  Selain itu hal yang juga penting adalah memilih kondisi kerja yang optimum yang meliputi sifat pengembangan, jarak pengembangan , atmosfer bejana  dan lain- lain . Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf.
       Rf =  Jarak titik pusat bercak dari titik awal
                Jarak garis depan dari titik awal
                        Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf  adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 – 100. Jika keadaan luar misalnya sifat penjerap yang agak menyimpang, menghasilkan kromatogram yang agak menyimpang, menghasilkan kromatogram yang secara umum menunjukkan angka Rf lebih rendah atau lebih tinggi, maka sistem pelarut harus diganti dengan yang lebih sesuai. Jika angka hRf lebih tinggi dari hRf yang dinyatakan, kepolaran pelarut harus dikurangi, jika hRf lebih rendah maka komponen polar pelarut harus dinaikkan (Stahl 1985).
                        Sifat – sifat umum dari penyerap-  penyerap untuk kromatografi lapis tipis adalah mirip dengan sifat – sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat penting dar penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada mereka. Besar partikel yang biasa digunakan adalah 1 – 25 mikron . Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu alasan untuk menaikkan hasil pemisahan adalah menggunakan penyerap yang butirannya halus. Kebanyakan penyerap yang digunakan adalah silika gel. Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat yang dimaksudkan untuk memberi kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Pengikat yang digunakan kebanyakan kalsium sulfat. Tetapi biasanya dalam perdagangan silika gel telah diberi pengikat. Jadi tidak perlu mencampur sendiri dan diberi nama dengan kode silika gel G (Sastrohamijojo 1985).
                        Analisis dengan KLT dapat digunakan untuk mengidentifikasi simplisia yang kelompok kandungan kimianya telah diketahui.
            Kelompok kandungan kimia tersebut antara lain :
             1. Alkaloid
             2. Antraglikosida
             3. Arbutin
             4. Glikosida Jantung
             5. Zat pahit
             6. Flavonoid
             7. Saponin
             8. Minyak atsiri
             9. Kumarin dan asam fenol karboksilat
           10. Valepotriat
Penyediaan larutan zat yang diperiksa
1.  Alkaloid
                        Ditimbang 1 g serbuk simplisia, kemudian dibasahi dengan 1 ml amonia encer P. Bahan disari dengan 5 ml metanol P dilakukan dengan cara dikocok pada suhu 60°C selama 15 menit. Filtrat sebanyak 20 µl atau 100 µl digunakan untuk pemeriksaan KLT.
2.   Antraglikosida, Arbutin, zat pahit dan flavonoid
                        Ditimbang 1 g serbuk simplisia, kemudian disari dengan 5 ml metanol P. penyarian dilakukan dengan cara dipanaskan di atas tangas air selama 15 menit. Filtrat sebanyak 20 µl atau 100 µl digunakan untuk pemeriksaan KLT.
3.   Saponin
                              Ditimbang 1 g serbuk simplisia, kemudian disari dengan 5 ml metanol P. penyarian dilakukan dengan cara dipanaskan di atas tangas air selama 15 menit. Sari diuapkan sampai diperoleh 1 ml, kemudian ditambah dengan 0,5 ml air dan 3 ml butanol P, sambil dikocok. Filtrat sebanyak 20 µl atau 100 µl digunakan untuk pemeriksaan KLT.
4.   Glikosida Jantung
                        Ditimbang 1 g serbuk simplisia, kemudian disari dengan 5 ml metanol P 50 % dan 10 ml larutan timbal (II) asetat LP. Campuran dipanaskan di atas tangas air selama 10 menit. Filtrat setelah dingin disari 2 kali, masing-masing dengan  10 ml diklormetana P. Sari dikumpulkan, kemudian diuapkan. Sisa dilarutkan dalam campuran diklormetana P dan metanol P. (1:1). Filtrat sebanyak 100 µl digunakan untuk pemeriksaan KLT.
5.   Minyak atsiri, Kumarin, asam fenol karboksilat dan valepotriat
                        Ditimbang 1 g serbuk simplisia, kemudian disari dengan 10 ml diklormetana P. Penyarian dilakukan dengan cara direfluks 15 menit. Filtrat yang diperoleh kemudian diuapkan sampai kering. Sisa dilarutkan dalam 1 ml toluena P. Filtrat sebanyak 20 µl atau 100 µl digunakan untuk pemeriksaan KLT.
            Lempeng KLT
                                    Lempeng yang digunakan lempeng silikagel 254P dengan ukuran 10 cm x 10 cm. Lempeng dapat berupa lempeng kaca atau lempeng lain yang cocok. Untuk menentukan kelompok kandungan kimia suatu simplisia sekurang-kurangnya diperlukan 10 lempeng.
            Cairan elusi
1.      Dietil eter- toluene (1:1)
      Cairan elusi dijenuhkan dengan larutan asam setat P 10% digunakan untuk mengelusi pemeriksaan KLT yang mengandung Kumarin.
2.      Kloroform- etanol-asam asetat glasial (94:5:1)
      Digunakan untuk mengelusi pemeriksaan KLT yang diduga mengandung minyak atsiri.
3.      Kloroform-metanol-air
      Digunakan untuk mengelusi pemeriksaan KLT yang mengandung saponin.
4.      Toluene-etil asetat-dietilamin (70:20:10)
      Digunakan untuk mengelusi pemeriksaan KLT yang mengandung alkaloid.
Pereaksi penampak
            Pereaksi penampak adalah larutan pereaksi yang digunakan untuk menyemprot lempeng KLT agar bercak yang terjadi dapat jelas terlihat.

1.      Anisaldehid-asam sulfat P
      Untuk mengamati minyak atsiri, saponin, zat pedas dan lain-lain.
2.      Dragendroof
      Untuk mengamati alkaloid.
3.      Antimon (III) klorida
      Untuk mengamati glikosida jantung, saponin (Ditjen POM 1987).
b.      Kromatografi kertas
            Merupakan kromatografi cairan-cairan dimana sebagai fasa diam adalah lapisan tipis air yang diserap dari lembab udara oleh kertas jenis fasa cair lainnya dapat digunakan. Teknik ini sangat sederhana.
            Prinsip dasar kromatografi kertas adalah partisi multiplikatif suatu senyawa antara dua cairan yang saling tidak bercampur. Jadi partisi suatu senyawa terjadi antara kompleks selulosa-air dan fasa mobil yang melewatinya berupa pelarut organik yang sudah dijenuhkan dengan air atau campuran pelarut.
            Cara melakukannya, ciplikan yang mengandung campuran yang akan dipisahkan diteteskan/diletakkan pada daerah yang diberi tanda di atas sepotong kertas saring dimana ia akan meluas membentuk noda yang bulat. Bila noda telah kering kertas dimasukkan dalam bejana tertutup yang sesuai dengan satu ujung, dimana tetesan cuplikan ditempatkan, tercelup dalam pelarut yang dipilih sebagai fasa bergerak (jangan sampai noda tercelup karena berarti senyawa yang akan dipisahkan akan terlarut dari kertas).
            Pelarut bergerak melalui serat dari kertas oleh gaya kapiler dan menggerakkan komponen dari campuran cuplikan pada perbedaan jarak dalam arah aliran pelarut. Bila permukaan pelarut telah bergerak sampai jarak yang cukup jauhnya atau setelah waktu yang telah ditentukan, kertas diambil dari bejana dan kedudukan dari permukaan pelarut diberi tanda dan lembaran kertas dibiarkan kering. Jika senyawa-senyawa berwarna maka mereka akan terlihat sebagai pita atau nodayang terpisah. Jika senyawa tidak berwarna harus dideteksi dengan cara fisika dan kimia. Yaitu dengan menggunakan suatu pereaksi-pereaksiyang memberikan sebuah warna terhadap beberapa atau semua dari senyawa-senyawa. Bila daerah dari noda yang terpisah telah dideteksi, maka perlu mengidentifikasi tiap individu dari senyawa. Metoda identifikasi yang paling mudah adalah berdasarkan pada kedudukan dari noda relatif terhadap permukaan pelarut, menggunakan harga Rf.
            Harga Rf merupakan parameter karakteristik kromatografi kertas dan kromatografi lapis tipis. Harga ini merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa pada kromatogram dan pada kondisi konstan merupakan besaran karakteristik dan reprodusibel.
            Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak senyawa dari titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal.
Rf = Jarak titik tengah noda dari titik awal
Jarak tepi muka pelarut dari titik awal.
                  Ada beberapa faktor yang menentukan harga Rf yaitu:
1.      Pelarut, disebabkan pentingnya koefisien partisi, maka perubahan-perubahan yang sangat kecil dalam komposisi pelarut dapat menyebabkan perubahan-perubahan harga Rf.
2.      Suhu, perubahan dalam suhu merubah koefisien partisi dan juga kecepatan aliran.
3.      Ukuran dari bejana, volume dari bejana mempengaruhi homogenitas dari atmosfer jadi mempengaruhi kecepatan penguapan dari komponen-komponen pelarut dari kertas. Jika bejana besar digunakan, ada tendensi perambatan lebih lama, seperti perubahan komposisi pelarut sepanjang kertas, maka koefisien partisi akan berubah juga. Dua faktor yaitu penguapan dan kompisisi mempengaruhi harga Rf.
4.      Kertas, pengaruh utama kertas pada harga Rf timbul dari perubahan ion dan serapan, yang berbeda untuk macam-macam kertas. Kertas mempengaruhi kecepatan aliran juga mempengaruhi kesetimbangan partisi.
5.      Sifat dari campuran, berbagai senyawa mengalami partisi diantara volume-volume yang sama dari fasa tetap dan bergerak. Mereka hampir selalu mempengaruhi karakteristik dari kelarutan satu terhadap lainnya hingga terhadap harga Rf mereka.
c.       Kromatografi Penukar Ion
               Merupakan bidang khusus kromatografi cairan-cairan. Seperti namanya, system ini khusus digunakan untuk spesies ion.
d.       Kromatografi Penyaringan Gel
               Merupakan proses pemisahan dengan gel yang terdiri dari modifikasi dekstran-molekul polisakarida linier yang mempunyai ikatan silang.
e.        Elektroforesis
Merupakan kromatografi yang diberi medan listrik disisinya dan tegak lurus aliran fasa gerak. Senyawa bermuatan positif akan menuju ke katode dan anion menuju ke anoda.
2.3        Peranan Kromatografi dalam Pembelajaran
      Di dalam pembelajaran sains, kromatografi berperan sebagai alat penunjang dalam pembelajaran. Khususnya dalam hal, teknik pemisahan campuran yang didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut.
2.4        Penyimpanan Kromatografi
      Dalam hal ini, penyimpanan kromatografi sebaiknya ditempatkan pada tempat yang kering tidak pada tempat yang lembab. Idealnya diletakkan pada posisi yang siap untuk digunakan (tidak dipindah atau dipindah ditempat lain). Hal ini memungkinkan memperpanjang usia alat. Pemindahan atau merakit ulang alat memungkinkan terjadinya kesalahan atau gangguan terhadap fungsi alat.

BAB III
PENUTUP
3.1        Kesimpulan
1.      Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam (padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas).
2.      Jenis-jenis kromatografi ialah
    1. Liquid Liquid Chromatography (LLC)
    2. Liquid Solid Chromatography (LSC)
    3. Ion-exchange chromatography
d.      Exclusion chromatography
e.       HPLC ( High Performance Liquid Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi).
                                            i.            Kromatografi Cair Retensif
                                          ii.            Kromatografi Cair Non-retensif
3.      Teknik kromatografi yang umum digunakan dibidang farmasi yaitu kromatografi kolom, kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi penukar ion, kromatografi penyaringan gel, dan elektroforesis.


DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM, (1979), Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Khopkar, S.M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta.
Rohman, (2009), Kromatografi untuk Analisis Obat, Graha Ilmu, Yogyakarta
Sastrohamidjojo Hardjono, (1985 ), Kromatografi, Edisi kedua, Liberty , Yogyakarta

Saifuddin Azis  et all.,(2011), Standarisasi Bahan Obat Alam Edisi Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta

Stahl Egon, (1985), Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, ITB, Bandung.

Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta

Minggu, 13 Mei 2012

Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik


BAB I
PENDAHULUAN
I.1   Latar Belakang

Seiring dengan kesadaran masyarakat akan bahaya dari obat-obat sintetik, maka alternatif lain untuk mendapatkan efek terapi atau pengobatan cenderung memilih bahan alam, diantaranya dengan mengkomsumsi jamu.
Sebagai ahli farmasi, maka kita dituntut untuk dapat mengidentifikasi secara makroskopis maupun mikroskopis dari komposisi sediaan jamu yang ada. Dalam usaha tersebut, maka kita dituntut untuk dapat mengenali bentuk morfologi ataupun anatomi serta kandungan kimia dari jamu tersebut
Dengan diketahuinya kandungan simplisia dari sediaan jamu tersebut, maka kita dapat menganalisis kandungan zat serta lebih lanjut dapat mempelajari kemampuan efek terapi dari kandungan simplisia dari jamu tersebut.
Secara umum kandungan/komposisi dari jamu merupakan bahan alam khususnya dari tumbuh-tumbuhan yang khasiatnya teruji berdasarkan pengalaman secara turun temurun.

BAB II
PEMBAHASAN
Analisis suatu obat tradisional/jamu harus menyertakan uji subyektif, meskipun uji ini memerlukan praktek dan pengalaman yang luas. Hal ini perlu dilakukan untuk membandingkan kesan subyektifdengan sifat khas yang disimpan dan diklasifikasikan sebelumnya. Penentuan identifikasi berbagai sifat yang demikian merupakan suatu langkah yang penting pada identifikasi. (Asni Amin : 2007)
Bahan alam merupakan zat kimia murni yang sering digunakan dalam bentuk obat berizin. Senyawa-senyawa ini terkadang di produksi secara sintetis dan di kenal sebagai “senyawa identik alami” (jika itu kasusnya), tetapi pada awalnya ditemukan dari obat-obat tanaman. (Heinrich,M.2009)
Obat tradisional telah dikenal secara turun menurun dan digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan. Pemanfaatan obat tradisional pada umumnya lebih diutamakan sebagai upaya menjaga kesehatan atau preventif meskipun ada pula upaya sebagai pengobatan suatu penyakit. Dengan semakin berkembangnya obat tradisional, ditambah dengan gema kembali ke alam, telah meningkatkan popularitas obat tradisional. Hal ini terbukti dari semakin banyaknya industri jamu dan industri farmasi yang memproduksi obat tradisional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. (www.tempo.co.id/medika/ arsip/102002/pus-2.htm)
Banyak alasan terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal. Alasan tersebut berkisar dari daya tarik produk dari ‘alam’ dan persepsi bahwa produk tersebut ‘aman’ (atau paling tidak ‘lebih aman’ daripada obat konvensional, yang sering diremehkan sebagai” obat”.(Heinrich,M.2009)
Berdasarkan undang-undang kesehatan bidang farmasi dan kesehatan, yang dimaksud dengan Obat bahan Alam Indonesia adalah Obat bahan Alam yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi : jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka.( Makhmud, Ilham,2007).
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 – 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.(www.tempo.co.id/medika/ arsip/102002/pus-2.htm)
Jamu harus memenuhi kriteria aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku ( Makhmud, Ilham,2007).
Obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia obat (BKO). ( Makhmud, Ilham,2007).
1.     Berdasarkan hasil pengawasan obat tradisional melalui sampling dan pengujian laboratorium tahun 2006, Badan POM menemukan sebanyak 93 produk obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia obat keras seperti Fenilbutazon, Metampiron, Deksametason, CTM, Allopurinol, Sildenafil Sitrat, Sibutramin Hidroklorida dan Parasetamol.
2.     Mengkonsumsi obat tradisional mengandung Bahan Kimia Obat Keras membahayan kesehatan bahkan mematikan. Pemakaian obat keras, harus melalui resep dokter.
3.     Berbagai  resiko dan efek yang tidak diinginkan dari penggunaan Bahan Kimia Obat Keras tanpa pengawasan dokter, telah dilaporkan.
4.     Kegiatan memproduksi dan atau mengedarkan obat tradisional yang mengandung Bahan Kimia Obat, melanggar Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dapat dikenakan sanksi dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan atau denda paling banyak 2(dua) miliar rupiah
Seperti halnya pemeriksaan makroskopik sediaan jamu, pemeriksaan mikroskopik juga digunakan untuk menjamin kebenaran dari simplisia penyusun sediaan jamu dengan mengamati bentuk fragmen spepisifik penyusun pada sediaan jamu. (Anonim,2010),
Berbeda dengan obat-obatan modern, standar mutu untuk jamu didasarkan pada bahan baku dan produk akhir yang pada umumnya belum memiliki baku standar yang sesuai dengan persyaratan. Simplisia nabati, hewani dan pelican yang dipergunakan sebagai bahan untuk memperoleh minyak atsiri, alkaloid, glikosida atau zat berkhasiat lainnya, tidak perlu memenuhi persyaratan yang tertera pada monografi yang bersangkutan. Identifikasi simplisia dapat dilakukan berdasarkan uraian mikroskopik serta identifikasi kimia berdasarkan kandungan senyawa yang terdapat didalamnya (MMI,1995)
Uji mikroskopik dilakukan dengan mikroskopik yang derajat perbesarannya disesuaikan denga keperluan. Uji mikroskopik serbuk jamu tidak hanya dapt dilakukan melihat bentuk anatomi jaringan yang khas, tetapi dapat pula menggunakan uji histokimia dengan penambahan pereaksi tertentu pada serbuk sediaan jamu uji, dan zat kandungan simplisia uji akan memebrikan warna spesifik, sehingga mudah di deteksi. ( Anonim,2010)
Pemeriksaan anatomi serbuk dari suatu simplisia memiliki karakteristik tersendiri, dan merupakan pemeriksaan spesifik suatu simplisia atau penyusun jamu. sebelum melakukan pemeriksaan mikroskopik harus di pahami bahwa masing-masing jaringan tanaman berbeda bentuknya. ( Egon,1985)
Ciri khas dari masing-masing organ batang, akar dan rimpang umumnya memiliki jaringan penyusun primer yang hampir sama yaitu epidermis,korteks dan endodermis, jari-jari empulur dan bentuk berkas pengangkutannya. Tipe berkas pengangkut umumnya mengacu pada kelas tanaman seperti monokotil memiliki tipe berkas pengankutan terpusat (konsentris), dan pada dikotil tersebar (kolateral). (Egon,1985)
Sedangkan jaringan sekunder pada organ batang , akar dan rimpang berupa periderm , dan ritidorm. Rambut penutup dan stomata merupakan ciri spesifik dari bagian daun serta tipe sel idoblas seringkalai menunjukkan ciri spesifik suatu bahan nabati.(Egon,1985)
Identifikasi Reaksi kimia Sediaan Jamu (Dirjen POM,2000)
1.   Reaksi terhadap Lignin.
Serbuk jamu dan simplisia pembanding dibasahi dengan larutan flouroglusin P, kemudian di tetesi dengan sedikit HCL, diamati di bawah mikroskopik, jika dinding sel yang menagndung lignin akan berwarna merah.
2.   Reaksi identifikasi terhadap turunan Tanin
Ekstrak metanol serbuk dimasukkan dalam plat tetes, kemudia di tambahkan :
·         FeCl3 1 N, jika diperoleh warna biru hitam berarti mengandung pirogalotanin
·         FeCl3 1 N, diperoleh warna hijau yang mwngandung warna katekol
·         NaOH, jika diperoleh warna merah sampai merah coklat berarti mengandung pirogalotanin
3.   Reaksi Identifikasi tehadap Dioksiantrakinon
Sedikit serbuk dimasukkan kedalam tabung reaksi, lalu di tetesi dengan KOH 10 % b/v dalam etanol 95%, jika mengandung dioksantrakinon akan menghasilkan warna merah.
4.   Reaksi Identifikasi terhadap Fenol
Sedikit serbuk dimasukkan ke dalam vial, ditambahkan air, lalu ditutup dengan kaca objek yang diatasnya diberi kapas yang telah di basahi dengan air, kemudian di panaskan. Setelaha da uap yang berupa titik cairan pada kaca objek , diambil dan ditambahkan FeCl3, jika mengandung fenol akan menghasilkan warna biru hitam.
5.   Reasi Identifiasi terhadap Alkaloid
Ekstrak  metanol srbuk dimasukan ke dalam masing-masing tabung reaksi kemudian di tetesi :
·         HCl 0,5 N dan pereaksi Meyer, ika mengandung Alkaloid maka akan menghasilkan endapan putih kekuningan.
·         HCl 0,5 N dan pereaski Bauchardat, jika mengandung alkaloid akan menghasilkan endapan jingga kecoklatan.
6.   Reaksi Identifikasi terhadap Steroid
Serbuk dihaluskan dengan etanol kemudian di didihkan selama 15 menit lalu disaring, filtrat di uapkan sampai kering. ekstrak Kering ditambahkan dengan dietil etersetelah terlebih dahulu disuspensikan engan sediit air, bagian yang larut dalam dietil eter dipisahkan. lapisan dietil eter kemudian ditetesi dengan pereaksi Lieberman-Bauchardat, jiak menganung steroid akan menghasilkan warna merah atau merah jambu
7.   Reaksi Identifikasi terhadap Karbohidrat
Serbuk di kocok dengan air lalu di masukkan dalam tabung reaksi kemudian di tetesi :
·         Pereaksi Mollish, jika mengandung karbohidrat akan menghasikan cincin ungu
·         Pereaski Luff, jika mengandung karbohidrat akan mengahsilkan endapan merah
·         Pereaksi fehling A dan B, jika mengandung KArbohidrat akan menghasilkan endapan kuning jingga.
8.   Reaksi identifikasi terhadap Pati dan eleuron
·         Serbuk ditempatkan diatas kaca objek , kemudian di tetesi dengan larutan iodin 0,1 N, jika mengandung pati akan berwarna biru da warna kuning coklat jika mengandung aleuron
·         Sedikit serbuk dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu di tetesi dengan pereaksi Luff dan di panaskan, jika mengandung pati akan menghasilkan endapan merah bata.



BAB III
KESIMPULAN

1.   Uji mikroskopik serbuk jamu tidak hanya dapat dilakukan melihat bentuk anatomi jaringan yang khas, tetapi dapat pula menggunakan uji histokimia dengan penambahan pereaksi tertentu pada serbuk sediaan jamu uji, dan zat kandungan simplisia uji akan memebrikan warna spesifik, sehingga mudah di deteksi.
2.   Uji makroskopik yaitu pemeriksaan awal dengan mengamati bentuk organoleptik simplisia menggunakan panca indra dengan mendiskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa kemudian dikelompokkan berdasarkan jenisnya (spesies)



DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan., 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Frans A. Rumate. A.Ilham Makhmud. 2007. Peraturan Perundang-undangan Bidang Farmasi dan Kesehatan. Fakultas Farmasi – Universitas Hasanuddin. Makassar.
Heinrich,Michael,etc. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapi. EGC. Jakarta
Tim Penyusun Materia Medika Indonesia. 1995. Materia Medika Indonesia Edisi VI. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Yvonne S.LIncoln,Egon,G Guba.1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publication. Texas
Anonim. 2010. penuntun PraktikumFarmakognosi II. Fakultas farmasi. universitas musim indonesia. Makassar